Anwar Usman, sebagaimana telah diberitakan di banyak media, dianggap secara sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran etik oleh Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi(MKMK), Jimly Ashiddiqi.
Pencabutan Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi merupakan peristiwa pertama dalam sejarah perjalanan MK terkait pengenai putusan yang ia keluarkan.
Artinya, melalui peninjauan secara cermat oleh Ketua MKMK bahwa benar-benar ada kesalahan secara nyata yang dilakukan oleh Anwar Usman terkait putusannya yang memberikan keuntungan bagi pihak tertentu yang masih memiliki hubungan kekeluargaan.
hal ini sebagaimana teori hukum yang berbunyi name iure in causa sua bahwa seorang hakim tidak boleh mengadilil seseorang yang memiliki hubungan kekeluargaan olehnya.
BACA JUGA:Bencana Banjir di Kecamatan Banyuasin III, BPBD Banyuasin Beraksi dengan Evakuasi dan Mitigasi
Maka dalam kasus ini senyatanya telah melukai rasa keadilan bagi tegaknya demokrasi, terkhusus bagi kaum-kaum muda yang intelektual dan berintegritas.
Tidak hanya itu, secara sistematis perbuatan nepotisme masih menjadi budaya dan kebiasaan yang sulit di hilangkan bagi setiap penyelenggara pemilu.
baik Badan Pengawas Pemilu(Bawaslu) dan badan-badan yang ada di bawahnya yang bertanggungjawab atas proses berjalannya pemilu yang cenderung bias dalam perekrutan penanggungjawab dan atau petugas-petugas pemungutan suara yang terdapat indikasi ketidakjujuran dalam perekrutan sehingga melukai rasa keadilan bagi siapa saja yang mempunyai niat tulus dengan jalan yang lurus.
Hal ini tidak lepas dari kesadaran demokrasi konstitusional yang mengedepankan kejujuran sebagai kesadaran rohani.
Jadi, corak pemilu yang kemudian merusak demokrasi yang berkeadilan ialah perilaku individu yang tidak jujur dan mengedepankan kepentingan kekeluargaan, kawan dan relasi kerja sehingga amat sangat melukai rasa keadilan di negara yang konon katanya adalah negara demokrasi sebagaimana petuah konstitusi.*