Perdebatan seputar nama jembatan ini mencerminkan kompleksitas perasaan dan pandangan terhadap masa lalu politik Indonesia.
Proses pembangunan Jembatan Ampera dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan langsung dari Presiden Soekarno.
Biaya pembangunan jembatan tersebut didanai oleh dana pampasan perang Jepang, menunjukkan kerjasama antarbangsa yang melibatkan negara-negara pasca-perang.
Jembatan ini memiliki dimensi yang mengesankan, dengan panjang mencapai 1.117 meter, lebar 22 meter, dan bagian tengah yang dapat diangkat seberat 944 ton.
Pembandulnya, yang semula seberat 500 ton, pada tahun 1990 dibongkar karena dianggap berpotensi membahayakan.
Tinggi Jembatan Ampera dari permukaan air mencapai 11,5 meter, sementara tinggi menaranya mencapai 63 meter dari permukaan tanah, dengan jarak antara menara mencapai 75 meter.
Satu aspek unik dari desain Jembatan Ampera adalah kemampuannya untuk mengangkat bagian tengahnya, memungkinkan kapal-kapal besar untuk melintas di bawahnya.
Namun, sejak tahun 1970, bagian tengah tersebut tidak dapat diangkat lagi, dan pada tahun 1990, bandul pemberatnya dibongkar untuk menghindari risiko potensial.
Jembatan Ampera, selain menjadi bagian integral dari infrastruktur Palembang, juga melambangkan perubahan dalam dinamika politik dan nilai-nilai masyarakat Indonesia.
Dengan perubahan nama dari Jembatan Soekarno menjadi Jembatan Ampera, kita dapat melihat bagaimana pandangan terhadap masa lalu politik dapat berkembang seiring berjalannya waktu.
Meskipun wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno pernah muncul pada tahun 2002, perdebatan seputar identitas Jembatan Ampera tetap hidup hingga hari ini.
Ini mencerminkan kompleksitas sejarah politik Indonesia dan bagaimana masyarakat beradaptasi dengan perubahan nilai dan pandangan.
Jembatan ini bukan hanya struktur fisik yang menghubungkan dua bagian kota, tetapi juga simbol keberanian, perjuangan, dan evolusi dalam sejarah Indonesia yang terus berkembang.*