SUMEKSRADIONEWS.ONLINE - Saat ini, kita memasuki bulan Sya’ban, yang lebih dikenal dengan bulan Ruwah.
Di bulan ini, sebuah tradisi kuno tetap dijaga kelestariannya, terutama di daerah pinggiran atau pedesaan.
Salah satu tempat di mana tradisi ini sangat dijunjung tinggi adalah di pulau Bangka, di mana beberapa desa memperingatinya dengan antusiasme yang setara dengan hari raya.
Desa-desa seperti Keretak, Penagan, Gadung, Kace, dan Tempilang terkenal dengan perang ketupatnya, sebuah perayaan yang dimulai sejak pertengahan bulan Sya’ban, yang juga dikenal sebagai Nisfu Sya’ban.
Tradisi Ruwahan, atau Arwahan, juga menjadi bagian penting dari bulan ini.
Selain untuk menyambut bulan suci Ramadhan, masyarakat juga memanfaatkan bulan ini untuk ziarah ke kuburan dan membersihkan makam-makam leluhur.
Perayaan ini melibatkan doa bersama dan undangan kepada tetangga-tetangga untuk bergabung dalam selamatan.
Selama bulan Ruwah, pasar-pasar dipenuhi dengan pesanan untuk kebutuhan selamatan Ruwahan, mulai dari beras, bumbu-bumbu, hingga lauk-pauk, semuanya laris terjual.
Namun, seiring dengan kelestarian tradisi ini, muncul juga pertanyaan mengenai asal-usul dan legitimasi dari praktik-praktik tersebut.
Beberapa warga desa tidak dapat menjelaskan dengan pasti kapan tradisi ini dimulai, karena bagi mereka, tradisi ini telah ada sejak zaman nenek moyang mereka dan terus dijalankan hingga sekarang.
Namun, penting untuk memahami bahwa di balik tradisi ini, terdapat keyakinan akan manfaat doa bagi orang yang telah meninggal.
Salah satu dalil yang dipergunakan adalah ayat Al-Qur'an yang menyatakan bahwa doa bagi orang yang telah meninggal dapat memberikan manfaat bagi mereka.