Rumah ini awalnya dimiliki oleh seorang pengusaha keturunan Tionghoa, Tjang Tjeng Kwat, yang dikenal sebagai penyalur bahan pokok untuk kebutuhan Belanda.
Bangunan ini dibangun pada tahun 1918 di atas lahan yang sangat luas, yaitu sekitar 4 hektare.
Selama masa pengasingannya di Bengkulu, Soekarno tidak hanya menggunakan rumah ini sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai tempat berkumpul dengan tokoh-tokoh masyarakat Bengkulu seperti Hassan Din, tokoh Muhammadiyah Bengkulu, dan lainnya.
Ini menjadi saksi bisu perjuangan dan aktivitas politik penting yang dilakukan oleh Soekarno di pengasingannya.
Namun, setelah kemerdekaan Indonesia, luas lahan rumah pengasingan ini berkurang drastis.
Pemerintah Provinsi Bengkulu memecah lahan ini untuk berbagai kepentingan, termasuk pembangunan gedung instansi, sekolah, dan perumahan warga.
Saat ini, hanya tersisa sekitar 4.813 meter persegi sebagai lahan utama kawasan rumah pengasingan ini.
Rumah pengasingan Bung Besar tidak hanya menjadi saksi bisu perjuangan Soekarno, tetapi juga menyimpan banyak barang peninggalan bersejarah dari masa pengasingannya.
Misalnya, terdapat satu lemari berisi 120 potong pakaian pentas tonil Monte Carlo, sebuah grup kesenian yang didirikan oleh Soekarno selama pengasingannya di Bengkulu.
Selain itu, ada sepeda onthel, satu set kursi tamu, lemari makan, dan banyak lagi.
Di dalam rumah ini juga tersimpan koleksi surat cinta antara Soekarno dan Fatmawati, perempuan asli Bengkulu yang menjadi istri Soekarno selama masa pengasingannya.
Fatmawati juga dikenal sebagai penjahit bendera nasional merah putih saat Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Rumah pengasingan Bung Karno bukan hanya menjadi tempat bersejarah yang disimpan dalam buku-buku sejarah, tetapi juga menjadi objek wisata sejarah yang selalu dikunjungi oleh masyarakat ketika berada di Bengkulu.