Bahaya Suka Pamer Harta di Media Sosial, Para Ahli Mengiatkan Ciri Gangguan Mental

Bahaya Suka Pamer Harta di Media Sosial, Para Ahli Mengiatkan Ciri Gangguan Mental

Ilustrasi main medsos. (net)--

Sumeksradio- Bahaya Suka Pamer Harta di Media Sosial, Para Ahli Mengiatkan Ciri Gangguan Mental, Media sosial tidak menampilkan banyak konten ketika seseorang sedang berlibur atau membeli sesuatu yang mahal untuk hadiah.

Meski awalnya memiliki niat baik, namun momen tersebut lambat laun  diunggah ke jejaring sosial dengan maksud untuk diperlihatkan kepada orang lain tanpa mereka sadari.

Media sosial kini menjadi wadah yang berbeda dengan fungsi aslinya.

BACA JUGA:Banyak Orang tidak Segan-segan Membeli Rokok Ketimbang Makanan yang Bergizi, Akibatnya Stunting

Jika  media sosial dulunya hanya untuk menjangkau teman  jauh dan melihat bagaimana keadaan mereka, kini media sosial telah menjadi tempat untuk memamerkan kekayaan, yang sepertinya merupakan tanda gangguan mental yang tidak disadari banyak orang. tidak mengerti.

BACA JUGA:Mengatur Keuangan yang baik agar tidak Terlilit Hutang, Salah Satunya Berfokus pada Salah Satu Tanggungan

“Indonesia sedang menghadapi krisis kesehatan mental. Akhir-akhir ini banyak kelompok yang melakukan pelecehan, perundungan dan kekerasan,” kata Maria Ekwati, ketua Keren Women Indonesia (WIK), pada konferensi pers Kesehatan Mental untuk Mencegah Pelecehan dan Pelecehan. Jakarta, beberapa waktu lalu.
 
Maria, yang juga memiliki gelar sarjana psikologi, mengatakan  memamerkan kekayaan atau prestasi itu fleksibel. Maria mengatakan, membungkuk sendiri kini sudah menjadi fenomena gangguan jiwa yang harus ditanggapi serius karena merugikan masa depan anak muda.
 
"Jika itu seperti, 'Saya baru saja mendapat cincin baru,' itu masih merupakan kelenturan yang normal." Yang saya khawatirkan adalah pembengkokan yang berlebihan ini, yang mengganggu kesehatan jiwa,” kata Maria.

Selama ini penanganan kesehatan jiwa lebih dominan pada fase pengobatan, dengan gangguan jiwa (ODGJ) belum meninggalkan upaya pencegahan atau pencegahan.

Ia menunjuk beberapa penelitian, salah satunya adalah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2022 oleh Pemuda Nasional Indonesia.
 
Menurut penelitian, satu dari tiga remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Data yang sama menyebutkan bahwa 1 dari 20 remaja mengalami gangguan jiwa.

Gangguan kecemasan paling sering dialami oleh kaum muda, tanpa memandang jenis kelamin atau usia. Menurut Maria, informasi ini sangat mengkhawatirkan dan harus segera mendapat penanganan serius dari pemerintah.

Statistik tersebut merupakan tanda bahwa Indonesia  berada dalam krisis kesehatan mental. Oleh karena itu, perawatan kesehatan jiwa harus dilaksanakan di tingkat masyarakat.
 
“Jika orang memiliki masalah kesehatan fisik, mereka sudah tahu harus kemana, tidak demikian halnya ketika mereka terus menerus mengalami gangguan emosi  sebagai indikator kesehatan mental,” kata Maria.

Idealnya, menurut Maria, pelayanan kesehatan jiwa harus disamakan dengan pelayanan kesehatan fisik dan tidak dipisahkan seperti yang terjadi di rumah sakit jiwa saat ini.

Rumah sakit umum dan rumah sakit daerah, baik negeri maupun swasta, harus memiliki rencana pelayanan kesehatan jiwa.
 
“Begitu juga dengan Puskesmas dan Posyandu,” imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Pusat Kolaborasi Kesehatan adalah Dr. DR. Ray Wagiu Basrowi, MKK menjelaskan bahwa  pada prinsipnya membungkuk dapat dicegah sejak dini dengan mengajarkan anak tentang “kesetaraan”.

Ya, pendidikan ini tampaknya tidak penting, tetapi efeknya membuat anak mengadopsi sikap sosialnya sendiri.
 
Akibatnya, anak-anak dapat menjadi pelaku atau korban bullying sosial. Hal ini didasarkan pada pendidikan minimal tentang kesetaraan, bahwa manusia  di muka bumi ini memiliki latar belakang yang berbeda namun harus diperlakukan  sama.

“Anak-anak di bawah usia 17 tahun  sebenarnya adalah konsep ekonomi, konsep sosial bagi mereka abstrak. Apakah perlu diperkenalkan? Perlu, tapi tidak untuk konsep layer,” kata Dr. Ray pada saat yang bersamaan.

Maka Dr. Ray menyarankan agar orang tua tidak lagi mengajarkan konsep stratifikasi, melainkan konsep kesetaraan. Dengan konsep berlapis, dikhawatirkan anak akan mengalami masalah kesehatan mental yang sudah berkembang sejak kecil.

Dalam artian, Dr. Ray mendorong anak-anak untuk memahami kesetaraan sejak dini dengan mengenalkan kekerabatan.

Tidak hanya itu, kesetaraan gender juga penting bagi laki-laki dan perempuan agar mereka memiliki hak yang sama dalam proses pertumbuhan dan perkembangan.

"Jangan ajarkan konsep seperti 'oh dia  kaya, saya miskin'. Tunjukkan, jangan tunjukkan gaji saat (mengiklankan) pekerjaan. Jangan tunjukkan stratifikasi, tunjukkan kekerabatan," jelas Dr. Ray.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: