Hal ini mengkonfirmasi bahwa demokrasi transaksional menciptakan pembangunan berbiaya tinggi, kualitas yang tidak memadai, rawan korupsi dan tidak peduli, bahkan membahayakan rakyat.
Merajalelanya Tofu Building atau istilah "Proyek Tahu" disebabkan oleh korupsi dan suap yang merajalela karena uang pembanguan dikuras habis untuk dan oleh pemangku kepentingan sehingga menyisakan lebih sedikit dana untuk membeli bahan-bahan berkualitas tinggi.
Tidak terkecuali, peran Omnibus Law juga turut menjadi stempel pembenaran yang semakin diagungkan. Padahal sejatinya inilah strategi investor untuk melanggengkan cengkraman di negeri ini.
Analisis kecendrungan korupsi yang diteliti oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) memperlihatkan kasus korupsi bermoduskan penggelembungan anggaran, dan aparat pemerintah daerah menduduki posisi teratas yaitu 30%.
Penggelembungan anggaran dilakukan secara sistematis dan melibatkan banyak orang yang bermuara pada KKN.
Korupsi nampaknya sudah menjelma sebagai sebuah industri di negeri ini.
Potensi korupsi dalam sektor pembangunan muncul, justru karena terbuka lebar celah aturan proyek pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah.
Celah itu berupa diperbolehkannya penunjukan langsung tanpa tender.
Hasil penelitian Indonesia, Indonesia Procurement Watch (IPW) membuktikan 38% dari proses penunjukan langsung pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah selalu berakhir dengan praktik penggelembungan dana.
Fenomena pembangunan terancam gagal ini bukan kali pertama pertama terjadi, tetapi kasus tersebut sudah sangat sering kali terjadi bahkan hampir rata-rata.
Lantas, apa yang menyebabkan kasus ini semakin menjamur dan seakan sudah menjadi rahasia umum.
Tatkala kejadian ini terus berulang tidak ada solusi yang memberantas akar permasalahan tersebut.
Inilah buah dari dampak sistem sekularisme-kapitalisme yang tersistematis menjadikan landasan pengurusan rakyat dengan tujuan materi, menjadikan segala sesuatu cenderung pada keuntungan.