Tantangan ini muncul karena regulasi di Indonesia saat ini masih menyamakan standar bobot untuk bus listrik dengan bus konvensional.
Dari segi bodi, tantangannya adalah bagaimana caranya mengompensasi berat baterainya. Soalnya di Indonesia regulasi bus listrik masih sama dengan bus biasa.
Batas beratnya, terutama pada kelas jalan, hanya sampai 16 ton untuk bus ukuran 12 meter, lanjut Stefan.
Perbedaan Bobot dan Implikasinya pada Desain
Perbedaan bobot yang signifikan antara bus listrik dan bus diesel menjadi fokus utama dalam desain bus listrik yang dikembangkan Laksana.
BACA JUGA:Wuling Perkenalkan MPV Listrik Penantang BYD M6, Menyasar Pasar yang Minim Kompetisi
BACA JUGA:Kereta Masa Depan di IKN: ART dengan Teknologi Baterai Canggih dan Ramah Lingkungan
Untuk sasisnya, bus listrik dengan bus diesel, ada selisih berat hampir 3 ton lebih berat pada bus listrik karena baterainya yang sangat berat, jelas Stefan.
Dengan perbedaan bobot ini, Laksana dihadapkan pada tantangan besar untuk merancang bodi bus yang lebih ringan namun tetap kuat dan aman.
Kompensasi berat ini sangat penting untuk menjaga kapasitas penumpang tetap optimal.
Jika bobot bus listrik tidak dapat dikompensasi, maka jumlah penumpang yang bisa diangkut akan berkurang drastis, yang tentu saja bukan solusi yang diinginkan.
Kalau nggak, nanti penumpangnya jadi berkurang banyak.
BACA JUGA:Wuling Cloud EV: Pilihan Terjangkau Mobil Listrik dengan Cicilan Ringan di Bawah Rp 400 Juta
BACA JUGA:Inilah Wuling Alvez vs. New Almaz RS Pro Hybrid: Mana yang Lebih Cocok untuk Anda? Cek Sekarang Yuk!
Nah, itu yang menjadi tantangan kami, tambah Stefan.
Inovasi Laksana dalam Pengembangan Bus Listrik