Penghapusan tagihan kredit ini juga merupakan implementasi dari kebijakan restrukturisasi yang lebih fleksibel, di mana pihak bank memberikan opsi kepada debitur untuk tidak hanya merestrukturisasi utangnya, tetapi juga menghapuskan sebagian beban finansial yang ada.
Dengan demikian, BRI berharap debitur yang terimbas bencana bisa segera pulih dan kembali beraktivitas tanpa dihantui oleh beban utang yang tak dapat dibayar.
BACA JUGA:Mengejutkan! BRI Hapus Tagihan Kredit UMKM Rp2,5 Triliun! Begini Dampaknya bagi Pelaku Usaha Kecil!
BACA JUGA:Keren! BRI UMKM EXPORT 2025: Ajang Pameran Produk Lokal Terbesar Kembali Digelar!
Fokus Penggunaan Anggaran Rp 400 Miliar
Alokasi anggaran Rp 400 miliar untuk penghapusan kredit macet ini digunakan untuk membantu debitur yang tidak hanya terimbas gempa bumi di Yogyakarta, tetapi juga beberapa wilayah lainnya yang terdampak tsunami dan bencana alam lainnya.
BRI menjelaskan bahwa anggaran tersebut diprioritaskan untuk debitur yang memiliki usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang merupakan sektor ekonomi yang paling rentan ketika terjadi bencana alam.
“Sebagian besar debitur yang mendapatkan keringanan dan penghapusan kredit ini adalah pelaku UMKM.
Kami berharap dengan langkah ini, mereka bisa kembali memulai usaha mereka dan tidak terbebani dengan kredit yang macet,” kata Sunarso.
BACA JUGA:Ini dia! BRI dan Komitmen Memberdayakan UMKM: Motor Penggerak Ekonomi Nasional!
BACA JUGA:Wow! Business Matching dan PLUT: Inilah Strategi UMKM Sukses di Program MBG!
BRI juga menjelaskan bahwa mereka bekerja sama dengan pemerintah daerah dan lembaga terkait untuk memetakan debitur yang membutuhkan bantuan.
Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengedepankan humanisme dan tidak sekadar aspek finansial semata, karena dampak bencana yang sangat besar bagi masyarakat.
Tantangan dan Sisa Kredit Macet
Meski sudah melakukan penghapusan kredit macet senilai Rp 400 miliar, BRI masih menghadapi sisa kredit macet sebesar Rp 2,1 triliun yang harus ditangani.
Angka ini tentu saja tidak sedikit, mengingat banyak debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban mereka akibat kondisi ekonomi yang tak stabil setelah bencana alam.