Konflik tersebut menciptakan luka yang dalam di hati masyarakat setempat.
Tuanku Imam Bonjol sendiri terlibat dalam Perang Padri di Sumatera Barat pada rentang waktu 1821 hingga 1837. Perang Padri sendiri terbagi menjadi tiga masa yang berbeda.
BACA JUGA:Kisah Zaman dahulu di desa Rimba Terap: Cerita yang Perjuangannya Luar Biasa di BANYUASIN !
Pada masa pertama (1821-1825), perlawanan kaum Padri meluas di seluruh Minangkabau.
Pada masa kedua (1825-1830), pertempuran mereda karena campur tangan Belanda dan perjanjian-perjanjian dengan kaum Padri.
Di saat itu, kaum Adat yang mulai terdesak oleh kaum Padri meminta bantuan Belanda.
Masa ketiga perang (1830-1838) melihat peningkatan perlawanan kaum Padri, dan Belanda merespons dengan penyerbuan besar-besaran.
BACA JUGA:Legenda Kerajaan dan Putri Biyuku di Banyuasin, Kamu harus Tau nih !
Salah satu tempat yang diserbu oleh Belanda adalah Benteng Bonjol, di mana Tuanku Imam Bonjol memimpin kaum Padri.
Kaum Padri dipimpin Tuanku Imam Bonjol dengan tujuan mengembalikan kehidupan rakyat Sumatra sesuai dengan ajaran Islam-Foto:google/net-
Menghadapi pasukan Belanda yang lebih besar dan lebih bersenjata, pasukan Tuanku Imam Bonjol akhirnya menyerah pada tanggal 25 Oktober 1837.
Sebelum penangkapannya, Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya sempat bergerilya di hutan setelah Benteng Bonjol jatuh ke tangan Belanda pada 16 Agustus 1837.
Ketika Tuanku Imam Bonjol tiba di Palupuh, serdadu Belanda sudah menunggu untuk menangkapnya.
BACA JUGA:Potensi Ekonomi Desa Babat, Membangkitkan Kesejahteraan dan Keberlanjutan
Setelah ditawan, Tuanku Imam Bonjol dibawa ke Cianjur.
Perlawanan kaum Padri melemah sejak saat itu, dan satu-satunya perlawanan besar yang tercatat setelah itu adalah pada tahun 1841 yang dipimpin oleh Regen Palupuh, tetapi akhirnya juga dipadamkan oleh Belanda.