Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah pendanaan proyek.
Pada saat itu, anggaran yang tersedia sangat terbatas, dan dana yang dapat dialokasikan untuk proyek tersebut hanyalah sekitar Rp 30.000.
Jumlah ini tentu tidak mencukupi untuk proyek sebesar ini, yang akan menghubungkan dua sisi sungai yang lebar dan dalam, yaitu Sungai Musi.
Namun, hal ini tidak menghentikan semangat dan tekad para pemimpin dan pejabat kota Palembang.
Pada tahun 1956, DPRD Peralihan Kota Besar Palembang mengusulkan pembangunan jembatan ini dengan nama Jembatan Musi, mengacu pada sungai yang akan dilintasinya.
Usaha untuk merealisasikan proyek ini melibatkan banyak pihak, termasuk Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, HA Bastari.
Selain itu, Wali Kota Palembang M Ali Amin dan Indra Caya juga ikut terlibat dalam upaya tersebut.
Para pemimpin dan pejabat kota Palembang melakukan berbagai pendekatan, termasuk kepada Presiden Soekarno, agar mendukung rencana pembangunan jembatan ini.
BACA JUGA:Keindahan Alam di Sungai Keruh, Musi Banyuasin, Pesona Alami yang Menawan
Mereka meyakinkan bahwa pembangunan jembatan ini akan menjadi tonggak bersejarah dalam perkembangan kota Palembang.
Usaha ini mendapatkan dukungan dari Pemprov Sumsel dan Kota Palembang serta Kodam IV/Sriwijaya.
Namun, persetujuan untuk membangun Jembatan Musi tidak datang begitu saja.
Presiden Soekarno memberikan persetujuan dengan satu syarat penting: ia ingin adanya penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan tersebut.
Persyaratan ini mencerminkan visi Presiden Soekarno untuk menghadirkan elemen estetika dan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi warga kota.
Setelah melewati proses panjang perencanaan dan perundingan, akhirnya pada 14 Desember 1961, kontrak pembangunan Jembatan Ampera ditandatangani dengan biaya sekitar USD 4.500.000 (dengan kurs saat itu, USD 1 = Rp 200).
Ini adalah langkah awal menuju pembangunan sebuah simbol baru untuk kota Palembang.
Proyek pembangunan jembatan ini tidak hanya berfokus pada pembangunan struktur fisik, tetapi juga melibatkan penghancuran dan pemindahan beberapa bangunan bersejarah yang ada di sekitar lokasi pembangunan.
Beberapa bangunan yang harus dibongkar termasuk pusat perbelanjaan terbesar, Matahari (Dezon), Kantor listrik (OGEM), dan Bank ESCOMPTO.
Meskipun banyak bangunan bersejarah harus dirobohkan, menara air (waterleding) yang kini digunakan sebagai Kantor Wali Kota tetap berdiri di bagian hulu, sebagai salah satu peninggalan bersejarah yang masih bertahan.
Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden Soekarno.