Munculnya istilah-istilah seperti "negara agung" dan "mancanagara" dari pulau Jawa juga menjadi bagian dari pergeseran budaya yang signifikan pada masa itu.
Kemas Anom Jamaluddin
Pada tahun 1525, sultan Trenggana menunjuk Ki Gede ing Suro Tuo (Raden Ketib), anak dari adipati Karang Widara, sebagai wakil kesultanan Demak di Palembang.
BACA JUGA:Adat Palembang, Mengenal Tradisi Ritual Pernikahan di Sumatera Selatan, Sakral dan Unik !
Era pemerintahan Raden Ketib membawa nama pangeran Seda ing Lautan yang, meski gugur dalam penyerangan ke Melaka, menyumbangkan pengaruh signifikan dalam pengembangan kesenian dan budaya di Palembang.
Setelah meninggalnya Sultan Trenggana pada tahun 1546, Kemas Anom Jamaluddin, putra Pangeran Wirakusuma, tiba dari Surabaya untuk menghindari gejolak di Demak.
Dengan gelar Ki Gede ing Suro, dia mendirikan fondasi Kesultanan Palembang Darussalam yang bertema Islami.
Sultan Demak, yang diyakini sebagai Arya Penangsang, memperkuat hubungan dengan Palembang melalui Kemas Anom Jamaluddin.
BACA JUGA:Adat Palembang, Mengenal Tradisi Ritual Pernikahan di Sumatera Selatan, Sakral dan Unik !
Mereka saling membantu menghadapi musuh dan melakukan pertukaran barang berharga.
Salah satunya adalah pengiriman gamelan Slendro, Pelog, dan wayang kulit Purwa yang kemudian dikenal sebagai Wayang Kulit Palembang.
Seniman Demak bahkan mengunjungi Palembang untuk mengajarkan cara memainkan gamelan dan menyelenggarakan pertunjukan seni, yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Palembang selama berabad-abad.
Perjalanan Panjang Kesultanan Palembang Darussalam
BACA JUGA:Adat Palembang, Mengenal Tradisi Ritual Pernikahan di Sumatera Selatan, Sakral dan Unik !
Meskipun terdapat tantangan dan perseteruan, Kesultanan Palembang Darussalam terus berkembang.
Pada tahun 1575, Kemas Anom Jamaluddin meninggal, dan putrinya menikah dengan putera Sultan Jambi bernama Abdul Qahar.