SUMEKSRADIONEWS.ONLINE - Setiap bulan Ramadhan, masyarakat Palembang selalu menantikan tradisi berbagi takjil khas yang telah berlangsung lebih dari satu abad, yaitu pembagian Bubur Suro.
Tradisi ini bukan hanya sekadar kebiasaan berbagi makanan, tetapi juga menjadi simbol kebersamaan dan warisan budaya yang terus dijaga oleh warga Palembang, terutama di lingkungan Masjid Al Muhammadiyah, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Suro.
Sejarah Panjang Bubur Suro
Tradisi pembagian Bubur Suro diyakini telah ada sejak tahun 1800-an Masehi.
Nama "Bubur Suro" sendiri berasal dari masjid tempat tradisi ini dimulai, yakni Masjid Al Muhammadiyah yang berlokasi di Jalan Ki Gede Ing Suro, Kelurahan 30 Ilir, Palembang.
BACA JUGA:Gunung Seminung: Surga Pendaki dengan Pemandangan Eksotis
BACA JUGA:Ragit Palembang: Takjil Berempah yang Menghangatkan Momen Berbuka Puasa
Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Palembang dan memiliki sejarah panjang dalam perlawanan terhadap penjajah.
Pada masa penjajahan Belanda, Masjid Suro sempat dibongkar dan dilarang digunakan untuk beribadah selama 36 tahun.
Namun, semangat keislaman masyarakat Palembang tidak padam.
Setelah masjid kembali dibuka, tradisi Bubur Suro tetap dilanjutkan dan semakin berkembang hingga saat ini.
Proses Pembuatan Bubur Suro
BACA JUGA:Pesona Pulau Balak: Surga Tersembunyi di Teluk Pidada Lampung
BACA JUGA:Laksan: Kuliner Khas Palembang yang Lezat dan Cocok untuk Menu Buka Puasa
Bubur Suro bukan sekadar bubur biasa. Makanan ini dibuat dengan resep turun-temurun yang kaya akan rempah khas Palembang.