Bitcoin, sebagai aset kripto terbesar, mengalami penurunan signifikan setelah sempat menunjukkan tren bullish pada awal tahun. Ethereum dan altcoin lainnya pun turut terkoreksi.
Padahal, dalam beberapa tahun terakhir, kripto terutama Bitcoin kerap disebut sebagai "emas digital", aset lindung nilai (safe haven) modern yang seharusnya mampu melindungi nilai kekayaan dari inflasi atau krisis.
Namun, peristiwa terbaru membuktikan sebaliknya. Saat tekanan ekonomi meningkat, investor lebih memilih instrumen konvensional seperti obligasi atau emas fisik, bukan kripto.
Hal ini memperkuat argumen bahwa kripto belum sepenuhnya diterima sebagai aset pelindung nilai dalam skala global, terutama karena fluktuasinya yang ekstrem dan belum adanya regulasi yang kuat secara universal.
Dilema Kripto sebagai Safe Haven
Narasi bahwa kripto bisa menjadi safe haven mulai dipertanyakan.
BACA JUGA:Lonjakan Transaksi Kripto Maret 2025 Berakhir Lesu! Benarkah Investor asing Mulai Menarik Diri?
BACA JUGA: OJK Resmi Awasi Perdagangan Kripto Mulai Januari 2025, Gimana Pendapatan Para miners?
Meskipun adopsi teknologi blockchain dan aset digital terus meningkat, volatilitas pasar kripto yang tinggi menjadi hambatan utama untuk diterima sebagai instrumen lindung nilai yang andal.
Dalam situasi krisis, investor lebih membutuhkan kestabilan, bukan potensi imbal hasil tinggi yang diiringi risiko besar.
Banyak analis menganggap bahwa kripto lebih menyerupai aset spekulatif daripada aset aman.
Terlebih, hubungan kripto dengan sentimen pasar global masih cukup erat jika saham turun, kripto biasanya ikut terkoreksi, menunjukkan korelasi yang bertentangan dengan konsep safe haven sejati.
Kinerja Kripto Masih Bergantung pada Likuiditas Global
Salah satu alasan utama melemahnya kripto adalah ketergantungannya terhadap likuiditas global.
BACA JUGA:Ada Lonjakan Transaksi Kripto Akhir Pekan ini! Benarkah Atau Cuman Gimmick?
BACA JUGA:Transaksi Kripto RI Tembus Rp556 Triliun di Akhir Maret Kemarin Bagaimana di April ini