Hal yang menarik adalah bahwa kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 mencapai Grahi di selatan Thailand, menandakan kebangkitan Malayu sebagai penguasa Selat Malaka setelah Sriwijaya mengalami kekalahan.
Meskipun saatnya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, catatan Cina menunjukkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Jambi sebagai bawahan San-fo-ts'i, serta utusan dari Palembang yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah "Srimat" yang ditemukan dalam gelar Maharaja Srimat Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil dan berarti "tuan pendeta."
Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin Malayu yang berkuasa pada saat itu memiliki kaitan dengan kaum pendeta.
Namun, masih belum jelas apakah pemimpin kebangkitan Malayu adalah Srimat Trailokyaraja atau raja sebelumnya, karena belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada Prasasti Grahi.
Perkembangan ini mencerminkan dinamika politik dan sosial yang kompleks di Nusantara selama periode tersebut.
Kebangkitan Malayu setelah keruntuhan Sriwijaya menciptakan hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain, seperti Singhasari dan kemudian Majapahit di Pulau Jawa.
Pertukaran budaya, termasuk penerimaan arca Buddha dari Singhasari, adalah bukti dari hubungan yang terjalin antara Dharmasraya dan kerajaan-kerajaan Jawa.
Dalam sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara, hubungan diplomatik dan pertukaran budaya seperti ini sangat penting dalam membentuk karakter dan perkembangan masyarakat setempat.
Meskipun banyak yang masih menjadi misteri, catatan sejarah seperti Prasasti Grahi dan Prasasti Padang Roco membantu kita memahami bagian dari kisah yang menarik ini, di mana kerajaan-kerajaan berkuasa pada masa itu saling berhubungan dan berkontribusi pada perkembangan budaya dan politik di wilayah tersebut.