Mereka menghadapi gangguan dan serangan, bahkan dua kali loji mereka di Padang diserang dan dibakar oleh pejuang dari Pauh dan Koto Tangah.
Kota Padang Sebagai Pusat Perdagangan Belanda
Pada tahun 1784, Belanda menetapkan Kota Padang sebagai pusat perdagangan dan kedudukan administratif di Sumatera Barat.
Namun, dalam perjalanannya, Kota Padang pernah dijarah dan dikuasai oleh bajak laut Prancis bernama François Thomas Le Même pada tahun 1793.
BACA JUGA:Cerita dan Asal Mula Nama desa Tanjung Agung Banyuasin, yuk Kita Lihat !
Kemudian, pada tahun 1795, Inggris mengambil alih kendali kota ini.
Setelah serangkaian peristiwa dan perubahan kepemilikan, pada tahun 1819, Belanda mengklaim kembali kawasan ini melalui Traktat London.
Pada tahun 1837, pemerintah Hindia-Belanda menjadikan Padang sebagai pusat pemerintahan wilayah Pesisir Barat Sumatera, yang meliputi Sumatera Barat dan Tapanuli saat ini.
Sampai akhir abad ke-18, Kota Padang hanya mencakup beberapa wilayah seperti Batang Arau, Kampung Cina, Kampung Keling, Pasar Hilir, Pasar Mudik, Pulau Aia, Ranah Binuang, Alang Lawas, dan Seberang Padang.
Ekspansi dan Peralihan Pemerintahan
Pemerintah Belanda di bawah De Stuers memimpin ekspansi Kota Padang ke arah utara, mencakup Nanggalo dan Ulak Karang, serta ke selatan hingga Teluk Bayur, dan ke timur hingga Lubuk Begalung, Marapalam, dan Andalas.
Selama periode ini, terjadi peralihan pemerintahan dari kepala suku atau penghulu menjadi sistem pemerintahan wijk atau kampung.
Masing-masing wijk adalah wilayah administratif yang dikenal sebagai distrik atau kampung, dengan penghulu wijk sebagai pemimpinnya.
Kemudian, pada tahun 1905, berdasarkan Ordonansi Gubernur Jenderal Hindia Belanda April 1905, Kota Padang ditetapkan dengan batas-batas yang lebih jelas.
Pada tahun 1958, Kota Padang diperluas lagi menjadi lebih besar dan terbagi menjadi distrik-distrik seperti Tanah Tinggi, Batang Arau, Binuang, Koto Tengah, Pauh IX, Sungkai, dan 7 Lurah Pauh V.