Tindak Pidana Orang Dengan Gangguan Kejiwaan(ODGJ), Sebagai Korban atau Pelaku ?

Tindak Pidana Orang Dengan Gangguan Kejiwaan(ODGJ), Sebagai Korban atau Pelaku ?

Tindak Pidana Orang Dengan Gangguan Kejiwaan(ODGJ), Sebagai Korban atau Pelaku ?-Oleh Panji Al islami -

Tindak Pidana Orang Dengan Gangguan Kejiwaan(ODGJ) Sebagai Korban atau Pelaku

 

SUMEKSRADIONEWS.ONLINE - Konstitusi menjamin perlindungan hak setiap warga negara, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28G Ayat (1) UUD NKRI 1945, dikatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,

dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi".

Dari uraian norma tersebut mengkonfirmasi bahwa setiap warga negara tanpa terkecuali memiliki hak secara substansial berdasarkan aturan normatif untuk dilindungi hak-haknya, baik sebagai korban maupun pelaku.

Menurut UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (atau yang selanjutnya disebut UU Kesehatan Jiwa) yaitu orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku,

BACA JUGA:Penerima Paket Mengalami Kerugian! Lantas Harus Bagaimana dan Siapa Yang Bertanggung Jawab?

dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Berikut penulis paparkan aspek viktimologi maupun kriminologi tindak pidana yang terkait dengan ODGJ.

ODGJ sebagai Korban Tindak Pidana

Pandangan masyarakat terhadap ODGJ dewasa ini sangatlah tidak memberikan respon positif terhadap ODGJ, malahan ODGJ nampak dianggap sebagai hama yang mestinya dijauhi bahkan, stigma negatif ini cenderung melahirkan tindakan-tindakan melanggar hukum oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

Stigma negatif tersebut tidak hanya ditujukan kepada si ODGJ, tetapi juga ditujukan pada pihak keluarga.

BACA JUGA:Gebrakan Baru! BPJS Kesehatan Melepas Status Kelas Standar - Yuk, Simak Detailnya Sekarang!

Tidak hanya itu, dalam hal pelayanan publik sering kali ODGJ mendapatkan perlakuan secara diskriminatif, maka hal ini telah melanggar prinsip hak asasi manusia sebagaimana Pasal Pasal 3 Ayat (2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menyatakan bahwa,

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.”

Dari penjelasan di atas, maka hak korban tindak pidana ODGJ wajib mendapatkan perhatian pihak penegak hukum untuk dilindungi hak-haknya.

Sebagaimana konstitusi menjamin bahwa non derogable right adalah hak atas setiap orang tanpa terkecuali untuk tidak dapat dikurangi,

BACA JUGA:Minimnya Perlindungan Perempuan, Butuh Solusi Nyata!

hal ini seperti yang dikatakan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 bahwa terkait perlindungan terhadap korban, setiap orang berhak mendapatkan hak atas rasa aman dan bebas dari ancaman. Selanjutnya hak bebas dari penyiksaan sebagaimana terdapat dalam Pasal 28G ayat (2) UUD 1945.

Peraturan yang mengatur mengenai perlindungan hukum kepada ODGJ yang menjadi korban penganiayaan yaitu:

a. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.

b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

BACA JUGA:Remaja Pemberani Tangkap Maling! Aksi Heroik di Jalan Letnan Murod Kota Palembang

Perhatian pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan jiwa serta memberikan ruang fasilitas untuk orang dengan gangguan kejiwaan adalah wilayah yuridis tanggungjawab pemerintah dengan segala instrumen politik maupun hukum.

Hal ini sebagai bentuk langkah preventif terhadap perlindungan ODGJ agar tidak mendapatkan kekerasan fisik maupun mental dari setiap orang yang ingin melakukan kejahatan.

Maka ODGJ sebagai korban tindak pidana memiliki hak konstitusional atas perlindungan terhadap ancaman kejahatan maupun tindakan yang melanggar hukum lainnya. 

ODGJ sebagai Pelaku Tindak Pidana

ODGJ yang melakukan tindak pidana/straftbarfeit, tidak dapat dihukum sebagaimana Pasal 44 KUHP yang berbunyi

BACA JUGA:Gebrakan Baru! BPJS Kesehatan Melepas Status Kelas Standar - Yuk, Simak Detailnya Sekarang!

"Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit-penyakit tidak dipidana".

Diketahui bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memberikan efek jera terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan pidana.

Ketika ODGJ melakukan tindak pidana dan kemudian dihukum sebagaimana hukuman orang yang sehat akalnya merupakan tindakan yang tidak memberikan dampak apa-apa.

Bahkan menurut maramis, seseorang tidak dapat bertanggungjawab adalah ketika Tidak mampu menginsyafi perbuatannya yang bersifat melawan hukum dan Dengan ketiadaan penginsyafan maka seseorang itu tidak dapat menentukan kehendaknya.

BACA JUGA:Mengurai Kemacetan! Rencana Pembukaan Jalan Tol Palembang - Betung Jelang Arus Mudik - Simak Selengkapnya!

Dalam ilmu hukum pidana, khususnya sebagaimana ketentuan yang diatur di dalam KUHP, terdapat alasan pengapus pidana,

yaitu alasan pembenar seperti contoh algojo atas perintah jabatan(Pasal 50 KUHP) dan Pasal 44, Pasal 44 ayat (1) dan (2) yang pada intinya bahwa ODGJ tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena mengalami gangguan kejiwaan atau disabilitas kejiwaan.

Dalam hukum pidana juga dikenal dengan unsur mens rea dan actus reus, mens rea yakni harus ditemukan unsur niat(opzet) yang apakah diikuti unsur kesengajaan atau tidak, dan kemudian dapat di identifikasi actus reus lebih mendalam melalui proses hukum formil.

Apabila ditinjau dari actus reus dan mens rea, maka keterangan dari ODGJ tidak dapat diterima disebabkan hilangnya akal dan terganggunya kejiwaan,

BACA JUGA:Ngintip Rencana Seru 2025: SIM Diganti NIK! Penasaran? Simak Yuk!

padahal menurut KUHAP pengakuan dari pada pelaku adalah termasuk sebagai barang bukti, maka bukti atau keterangan pelaku tidak dapat diterima dikarenakan terganggunya kejiwaan dan hilangnya akal.

Maka langkah hukum secara represif, kebijaksanaan yang dapat hakim ambil untuk menentukan pidana bagi ODGJ adalah memberikan rehabilitasi terhadap pelaku ODGJ, memutuskan perkara agar terdakwa mendapatkan layanan kesehatan jiwa dengan limit waktu yang ditentukan.

Pada intinya, ODGJ tidak boleh mengalami kekerasan oleh pihak keluarga maupun penyidik demi perlindungan hak individu ODGJ.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan kan bahwa hak ODGJ, kendatipun adalah sebagai pelaku tindak pidana tidak dapat dihukum sama halnya seperti orang normal.

BACA JUGA:Askolani 'Ngopi' Bareng HD: Pertemuan Santai Politisi Sumsel di Villa Gandus! Yuk, Cek Cerita Lengkapnya!

Koridornya adalah kepastian hukum sebagaimana uraian hukum secara normatif di atas, serta perlindungan hukum sebagaimana prinsip Hak Asasi Manusia.

Penulis: Panji Al Islam, S.H.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: